Rabu, 02 Mei 2012

Desember

    So today is the second day of May, Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. But why I titled this post as Desember? Nothing special actually. And long time not see this blog because my internet subscribe packet got expired.
    Sebenarnya ini hanya sekedar tulisan (kalau tidak mau disebut cerpen), yang saya buat karena terinspirasi dari salah seorang teman yang pernah juga menulis tentang Desember. But I didn't write this story in December. Saya sendiri sempat lupa pernah nulis ini, cuma kemarin karena entah kenapa iseng bongkar isi laptop dan menemukan tulisan yang hilang ini, daripada disimpan mending dibagi. Jadi inilah tulisan saya, Silahkan dinikmati. :) 


DESEMBER
            Desember. Bulan yang melankolis. Ya, setidaknya begitulah untukku. Menurutku, Desember adalah bulan yang paling basah dari semua bulan lainnya di kalender. Basah dalam dua konotasi, yaitu basah dengan uang, karena biasanya orang akan banyak berbagi dibulan itu. Para pekerja juga mendapat upah tambahan untuk merayakan tutup tahun mereka. Serta basah dalam artian sebenarnya, yaitu hujan dingin yang berkepanjangan. Bahkan di beberapa sudut benua sana sangat dingin karena turunnnya salju. Ya, salju yang dingin, beku dan basah.
            Desember. Lagi lagi bulan yang melankolis, entah kenapa? Mungkin karena pada bulan itu, aku merayakan natal. Sehingga bulan itu selalu membuatku merindukan natal . Rindu yang sebenarnya muncul karena aku belum pernah merasakan natal yang kuinginkan. Duduk bersama menghadap perapian, ditemani syal tebal serta kue jahe yang hangat. Diluar salju putih  menumpuk dan memantulkan kilau indah lampu lampu warna warni yang menghinasi rumah setiap orang. Ya, pikiranku telah teracuni oleh natal Eropa. Sialnya, aku tinggal di wilayah tropis yang tentu saja tidak ada salju. Kalian tidak perlu heran mengapa pikiranku hanya sedangkal itu mengenai makna natal, perapian, salju dan kue jahe. Aku seperti tu karena aku telah lupa merasakan kehangatan, semenjak kepergian gadis itu. gadis yang kucintai sepenuh hati. Desember.
             Desember. Ya,  itu bulan kelahirannya, dan itulah dasar mengapa aku memberinya Desember sebagai panggilan sayangku padanya. Panggilan itu membuatku selalu merindukan natal.  Dimana kami berdua akan berangkat bersama ke gereja. Berangkat dengan payung bening miliknya yang selalu melindungi kami dari hujan bulan Desember. Berdoa bersama. Dan menikmati makan malam yang kami buat bersama. Kami, selalu mengundang tetangga dan kerabat untuk berbagi sukaria natal bersama para penghuni jalanan.
            Desember  lahir tepat ditanggal ketika Yesus dilahirkan. 25 Desember. Dia selalu yakin bahwa suatu saat nanti, dia akan menjadi seperti Yesus, sang Juru Selamat. Mungkin tidak bagi semua orang, seperti layaknya kisah Yesus, namun hal itu tetap diyakininya. Dia akan menjadi  juru selamat beberapa orang, atau minimal satu orang. Aku tertawa saat dia pertama kali mengatakan hal itu padaku. Tapi dia tidak marah, dia hanya berkata “ Lihat saja nanti, kau akan melihatku menjadi Juru Selamat. Mungkin penyelamatmu.” Dan aku terdiam saat dia mengatakan hal itu.
            Desember. Dia sahabat kecilku yang paling istimewa. Kerapuhannya tidak lalu membuat dia bersedih. Dia  malah menjadi salah satu orang paling ceria di Panti Asuhan kami. Ya, di Panti Asuhan Kasih. Tempat kami pertama kali bertemu saat berumur tiga tahun. Tempat kami bersama dibesarkan oleh ibu kepala panti. Tempat kami menumbuhkan keyakinan kami bahwa kami masih diterima oleh orang lain. Dan tempat yang mengajarkan kami kasih untuk  tidak membenci orang yang telah membuang kami ketempat itu. Ya, ke Panti Asuhan Kasih.
            Desember. Mataku hampir  tidak mengerjap saat pertama kali bertemu dengannya. Wajahnya teduh. Namun kecerian selalu ada diwajahnya. Dia memeluk alkitab saat itu. Buku yang selalu menguatkannya ketika dia beranjak dewasa. Buku yang menguatkannya dalam kerapuhannya. Wajah tersenyumnya saat itu tidak akan pernah kulupakan. Bahkan hingga kini. Mungkin benar ini yang disebut cinta pertama, dan pada pandangan pertama.
            Desember, tanggal 25, tahun 1984. Umur kita akhirnya sama ditahun itu. 14 tahun. Usia remaja yang jelas menumbuhkan cinta. Usia yang membuat aku berani mengucapkan cinta kepadamu, setelah menyadarinya sejak pertama kali kita bertemu. Usia yang membuatmu tersipu malu menyuapkan kue ulang tahunmu kepadaku. Dan usia yang membuatmu terpukul begitu ibu kepala panti memberi tahumu sesuatu. Tapi senyummu selalu ada saat itu. Karena kau tahu, bahwa untuk menjadi juru selamat tentu bukan hal mudah. Kau tetap harus tersenyum, ditengah sesuatu yang memukulmu. Aku bertanya ingin tahu, karena hal itu sempat senyummu hilang sedetik. Tapi kau hanya memberikanku senyumanmu. Dan mengajakku berdoa merayakan natal tahun itu. “Suatu saat nanti kau akan tahu.” Itu jawaban terakhirmu.
            Desember,  25, 1987. Natal terakhir kita berdua sebelum berumur 20. Karena selanjutnya, kita sudah berpisah sementara. Melanjutkan pendidikan di kota berbeda. Kau mendapat beasiswa kependidikan di Amsterdam. Sementara aku, menempuh kuliah arsitek di Bandung. Kota yang dingin. Dan jauh dari tempatmu.Ya, lama kita sibuk dengan kehidupan masing masing. Dan aku menjalani natal yang kosong selama beberapa tahun.
            Desember, 1994. Aku telah berada di Amsterdam. Kota yang selalu menjadi tujuanku setelah natal terakhir kita. Aku diberitahu ibu panti bahwa kau masih berada di kota itu, dan masih di alamat yang sama seperti yang diberi ibu panti padaku. Hawa musim dingin sudah mulai menusuk. Salju sudah tampak turun. Aku belum mencarimu, aku harus melapor dulu ke kantor cabang kantorku. Sampai di hotel, aku menghubungi nomor telepon tempat tinggalmu. Tidak ada jawaban. Aku memutuskan menikmati kopi panas di kafe yang berada didepan hotel. Dan disitu, aku melihatmu. Kebetulan yang luar biasa. Lagi lagi kau sedang membaca alkitab. Buku yang selalu menguatkanmu. Dan aku kembali melihat senyummu. Senyum yang telah berubah. Dari senyum manis kepolosan anak anak menjadi senyum teduh gadis dewasa. Gadis, yang aku yakin telah menjadi juru selamat. Ya, bagi anak taman kanak kanak di Belanda.
            Desember, 25, 1994. Kita kembali merayakan natal. Merayakan kembali ulang tahunmu. Kita merayakannya bersama kerabat  dan tetangga untuk pertama kali bersama sama. Merayakannya bersama para penyanyi jalanan yang kedinginan diluar sana. Dan disitu, aku melamarmu. Kau tersenyum. Namun senyum yang mengartikan sesuatu meskipun kau menerima lamaranku. Senyum yang mengisyaratkan mungkin sudah waktunya aku tahu. Tahu akan sesuatu yang memukulmu sepuluh tahun lalu. Sesuatu yang diberitahukan ibu Panti padamu.
            Desember. Masih di tahun 1994. Kita berdoa bersama. Kau menangis saat itu. Mungkin kau malu karena tidak berhasil menjadi juru selamat. Seperti yang sudah kutebak sebelumnya. Kau rapuh Desember. Beku dan sepi. Tapi, bagiku kau tetap juru selamat. Kau membuatku kembali mendapati natalku yang telah hilang beberapa tahun lalu. Kau menyelamatkan natalku. Kau tetap juru selamatku, meski mengidap HIV. Penyakit yang belum ada obatnya itu. Ya, kau tetap juru selamatku.
            Desember 2004 aku melihat dia menangis di suatu pagi yang mendung. Aku memeluknya dari belakang. Dia hanya berkata lirih “Maafkan aku”. “Kau tidak perlu minta maaf. Aku akan selalu mencintaimu. Keturunan bukanlah inti pernikahan.” Itulah jawabanku. Dia berbalik. Aku menatapnya. “Ayo hapus air mata itu.” kataku. Gadis Desemberku itu menurutiku. Dihapusnya titik air dipelupuk matanya. Dia tersenyum haru. “Kau menyelamatkanku.”  Itu kata terakhirnya.
            Desember, dia selalu merasa akulah yang telah menyelamatkannya. Juru selamatnya. Dan bukan dia, yang tanggal lahirnya sama dengan Sang Isa. Aku selalu merasa perih bila mengingat anggapannya itu. Bagaimana mungkin aku menjadi penyelamatnya. Jika aku adalah penyelamatnya, aku tidak akan membiarkan dia  kesurga sendirian. Aku tidak akan membiarkan penyakitnya itu menggerogoti dirinya sendiri. Jika aku adalah penyelamatnya, harusnya aku yang menjadi penggantinya menanggung beban itu.
            Desember.  Kau salah Desember. Sebenarnya kaulah yang menjadi penyelamatku. Kau yang mengajarkanku tentang iman dari alkitab yang selalu kau pegang saat kecil itu. Kau yang mengajarkanku untuk berharap. Dan percaya bahwa aku masih akan tetap melewatkan natal bersamamu. Juruselamatku. Kau tidak sadar  kepergianmu telah membuat natal natalku juga pergi. Kau tidak sadar kaulah penyelamatku. Ya, kaulah Juruselamat sebenarnya.
            Desember. Dia telah menambah melankolis bulan Desemberku. Tapi aku yakin dia masih memperhatikanku dari surga sana. Aku yakin dia pasti tidak mau melihatku kehilangan Desember lagi. Dia masih menjadi Juru selamatku. Juru selamat natal ku. Pagi tadi, ditanggal 25 Desember 2010. Seorang bayi perempuan sedang tersenyum kearahku dari  keranjang tidurnya tepat saat aku membuka pintu. Aku tahu senyum itu. Dia Desember. Desember yang baru.
Di penghujung pagi
Jumat, 9 Juni 2010
00:51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar